Selasa, 06 Januari 2015

Eksistensi Bahasa Arab di Indonesia

Eksistensi Bahasa Arab di Indonesia[1]
Oleh:
Hilmi Fauzi [2]
(20120720149)

Pengantar
Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan kata hati, pikiran dan perasaan yang dinyatakan dengan mulut dan/atau dengan salah satu anggota badan atau simbol-simbol untuk maksud tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.[3] Bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses interaksi manusia. Bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Adakalanya seseorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik dan benar.

Sebagai bahasa agama (Islam), bahasa Arab telah lama memainkan peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia yang religius. Berdasarkan realita tersebut, maka peranan bahasa Arab dalam proses pengembangan sikap religius peserta didik sangatlah besar. Mengingat peran bahasa Arab yang amat sangat penting serta peran strategis yang dimainkannya saat ini, maka dipandang perlu adanya sebuah tulisan yang konsentrasi terhadap permasalahan tersebut. Penempatan bahasa Arab yang hanya oleh sebagian orang dipandang sebagai bahasa agama dianggap tidak lagi relevan karena penggunaan bahasa Arab sudah seharusnya digunakan di setiap sendi-sendi kehidupan. Banyak filosofi yang kita ambil dari bahasa Arab. Seperti penggunaan angka Arab, akan sangat terasa repot bagi kita apabila kita tidak menggunakan angka romawi dalam berhitung. Coba saja bayangkan apabila kita mengkalikan angka ratusan menggunakan angka romawi. Angka Arab memberikan solusi dalam hal ini untuk kemudahan berhitung matematis.[4]
Sederetan pernyataan reflektif di atas menarik untuk dikemukakan, karena selama ini bahasa Arab tampaknya baru sekedar sebagai alat (wasîlah)  –untuk memahami teks-teks keislaman yang berbahasa Arab- dan belum difungsikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu dikembangkan. Berangkat dari renungan inilah, maka melalui tulisan nan sederhana ini penulis mencoba memberikan pemikiran ulang dan/atau sebuah refleksi (rethinking and reflecting) mengenai potret sistem pengajaran bahasa Arab di Indonesia berikut prospeknya ke depan.
Pembahasan
       Hingga kini belum ditemukan adanya hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita.[5] Jika Islam secara meluas telah dianut oleh bangsa kita sejak abad ke-13, maka usia bahasa Arab di Indonesia dipastikan sudah lebih dari 7 abad, karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya.
Keadaan masyarakat Indonesia saat ini hanya sebagian kecil yang menguasai bahasa Arab. Ironisnya beberapa kalangan dengan bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa bangsa sendiri dimana yang sudah diaklamasikan pada sumpah pemuda[6] dimana bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan tidak menguasai dengan baik. Serta melihat beberapa kawa kita yang dari pondok pesantren/ma’had non modern banyak yang belum menguasai bahsa arab sepenuhnya baik secara lisan atau tulisan.          
       Hal lainnya adalah naluri kita dalam belajara bahasa. Tidak hanya bahasa arab namun bahasa yang lain. Ahmad Fuad Effendi dalam bukunya yang berjudul Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kesiapan fitrah (alamiah) untuk belajar bahasa.[7] Karena pada dasarnya tarbiyah (pendidikan) untuk meningkatkan fitrah manusia.[8]
Selama ini sistem pengajaran bahasa Arab di Indonesia dilakukan dengan berbagai metode dan cara yang disesuaikan dengan kesiapan dan kebutuhan masing-masing. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mahir berbahasa Arab, baik membaca, berbicara dan menulis. Rata-rata santri[9] menghabisan waktu sekitar 6-10 tahun. Namun dalam perkembangannya selalu ada problematika yang menghiasi.[10] Beberapa diantara dari berbagai problematika tersebut antara lain ialah:
1.    Faktor Linguistik
Faktor Linguistik  ialah faktor dari bahasa itu sendiri. Bahasa Arab mempunyai karakteristik tersendiri. Antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia terdapat perbedaan dalam beberapa aspek kebahasaan (linguistik) yaitu aspek fonetik.[11]
Problematika yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia dari aspek fonetik adalah bahwa antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia berbeda jumlah fonem, lambang fonem, dan sistem tata bunyi. Sebagai perbandingan, bahwa jumlah fonem bahasa Arab dengan bahasa Indonesia adalah 29:26. Lambang fonem tidak ada yang sama, dan cara penulisannya juga sangat berbeda. Bahasa Arab ditulis dari kanan ke kiri, sedangkan bahasa Indonesia ditulis dari kiri ke kanan. Terdapat 11 sistem tata bunyi bahasa Arab yang tidak ada dalam bahasa Indonesia yaitu: غ ،ع ،ظ ،ط ،ض ،ص ،ش ،ذ ،خ ،ح ،ث dan ditemukan adanya dalam bahasa Indonesia fonem-fonem gabungan konsonan seperti; ”ny” dan “ng” yang tidak terdapat dalam bahasa Arab.
2.    Faktor Non-Linguistik
Faktor non-linguistik adalah faktor di luar kebahasaan yang ikut mempengaruhi perkembangan setiap bahasa, yaitu; faktor lingkungan sosial. Di berbagai negara Arab mayoritas penduduknya berbicara dengan bahasa Arab, karena memang itulah bahasa mereka. Sangat berbeda dengan Indonesia, pada umumnya masyarakatnya tidak berbicara dengan bahasa Arab, karena bukan bahasa harian mereka. Hanya sedikit lingkungan yang mengkondisikan dirinya dengan pemakaian bahasa Arab, seperti pesantren, madrasah, atau lembaga-lembaga lain yang mencoba menerapkan bahasa Arab untuk berkomunikasi.
Oleh sebab itu kebiasan mendengar dan berbicara dengan bahasa Arab sangat jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia, sementara mendengar dan berbicara merupakan langkah awal dalam mempelajari setiap bahasa, apalagi bahasa asing. Berhasil tidaknya suatu pengajaran bahasa –termasuk bahasa Arab- sedikit banyaknya tergantung kepada sejauh mana pembinaan yang diberikan oleh lingkungan masyarakat, keluarga, teman belajar, guru, dan lain sebagainya.

Masalah lainnya adalah belajar bahasa arab pada pesantren membutuhkan waktu yang lama, tidak cukup satu atau dua tahun kita sudah mahir dalam berbahasa arab, mungkin dengan kesungguhan sekitar lima sampai tujuh tahun kita dapat menguasai bahasa arab dengan baik dan benar.  Juga saat belajar pada tingkat pesantren banyak dugaan bahwa yang “sah” disebut dengan bahasa arab adalah adalah bahasa arab standart yang sering disebut sebagai “bahasa arab fusha” , atau “literatury arabic”. Bahasa arab “pasaran” yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat arab saat ini tidak pernah kami anggap sebagai bahasa arab sungguhan.
            Bahasa arab pasaran kami anggap sebagai penyimpangan karena tidak memakai kaidah yang benar.  Misalnya, bahsa arab pasaran sama sekali, atau minimal sekali memakai i’rab. Bahasa arab pasaran disebu sebagai “i’rab less arabic. Karena i’rab dianggap sebagai inti dari bahsa arab maka pelanggaran atau penghapusan i’rab dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Oleh karena itu banyak pesantren menganggap bahasa arab pasaran bukan bahasa yang serius.
            Sekarang bahasa arab fusha hanya digunakan hanya pada 4 hal, yaitu: pers, bahasa internasional, bahasa pendidikan, bahasa Al-Quran. Ini mejadikan orang Indonesia yang mayoritas menggunakan fusha kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang asli arab. Terlebih kebanyakan pesantren salaf menggunakan terjemahan “utawi iki iku” (jawa). Jadi mereka untuk memahami dalam bahasa Indonesia susah.
Dari beberapa gambaran problematika bahasa Arab di atas, maka penulis mencoba untuk menawarkan dua buah solusi dan/atau kiat yang harapannya dapat mengubur dalam-dalam problematika tersebut. Kedua solusi itu ialah. Pertama, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja karya akademik dapat dihasilkan dan pada saatnya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih pasti dan dapat menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.
Adapun yang kedua ialah pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Selama ini, kita masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Seperti yang sudah diterbitkan buku “Amsilati Jepara”  oleh KH. Taufiqul Hakim, dimana dalam buku ini mempermudah kita mempelajari bahasa Arab (nahwu dan sharf) tidak perlu sampai tua di pondok pesantren.[12] kembali lagi ke topik, oleh karena itu, pemeran (tenaga) yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab Indonesia. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik tersendiri.[13] Sehingga pada akhirnya, seluruh masyarakat Indonesia diharapkan mulai dapat membuka tangan dengan hangat untuk menyambut dan/atau menerima bahkan mendukung keberadaan bahasa Arab di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Penutup
Dari  uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak persoalan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi, disikapi, dan dicarikan solusinya baik dalam faktor linguistik maupun faktor non-linguistik. Saat ini sudah seharusnya kita semua harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal untuk kemajuan pendidikan bahasa Arab di Indonesia.
Akhirnya, penulis berharap semoga seluruh pihak serta khususnya pemerintah agar lebih banyak lagi belajar dari pengalaman negara yang sudah lebih maju dalam menerbitkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan bahasa Arab. Jika pada tahun ini  kita akan memberangkatkan 90.108 jamaah haji ke Arab Saudi[14] dan sekian banyak TKI ke negara-negara Timur Tengah, mengapa kita tidak banyak berusaha menarik minat wisatawan dan investor dari kawasan Timur Tengah? Jadi, pendidikan bahasa Arab akan semakin memberi prospek yang cerah dan mencerahkan jika kebijakan pemerintah dalam bidang ini lebih visioner. 








[1]  Paper ini merupakan materi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan Islam Fakultas Agama Islam Universitas Mumahhadiyah Yogyakarta 2013.
[2] Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[3] Abd. Rouf Shadry, Nilai Pengajaran Bahasa Arab dan Sejarah Perkembangannya, (Bandung: Bina Cipta, 1980), hlm. 6.
[4] Kuliah Pengantar Filsafat 17 September 2013, Drs. H.M. Alfian Darmawan.
 5 Kamal Ibrahim Badry, Muzakkirah Usus Ta’lim Al-Lughah al-Ajnabiyyah, (Jakarta: Ma’had al-‘Ulum al-Islamiyyah wa al-‘Arabiyyah bi Indunisiyyah, tth), hlm. 1.
[6] Sumpah para pemuda Indonesia pada kongres pemuda II tanggal 28  Oktober 1928, point ke-tiga id.wikipedia/wiki/sumpah-pemuda
[7]  Ahmad Fuad Effendi, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2005), hlm. 12.
[8]  Kuliah Tafsir/Hadist 11 Sept 2013, Drs.H. Marsudi Iman, M.Ag.
[9] Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di ponsok pesantren. Id.m.wikipedia.org/wiki/santri
[10] pada Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Mei 2007), hlm. 73-74.
[11] Fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa. Lihat; Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 56.
[12] www.amsilati.com
[13] Mahmûd Fahmî Hijâzî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts: Qadhâyâ wa Musykilât, (Kairo: Dâr Qubâ’, 1998), hlm. 79.
[14] www.tempo.co.id/read/news/2013/09/17/136514025/jumlah-jemaah-haji-yang-diangkut-garuda-turun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar