Oleh:
Hilmi Fauzi [2]
(20120720149)
Pengantar
Bahasa
adalah alat untuk mengungkapkan kata hati, pikiran dan perasaan yang dinyatakan
dengan mulut dan/atau
dengan salah satu anggota badan atau simbol-simbol untuk maksud tertentu.
Dengan kata lain,
bahasa adalah alat untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.[3] Bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses interaksi
manusia. Bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Adakalanya seseorang yang pandai dan penuh
dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa
menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik dan benar.
Sebagai bahasa agama (Islam), bahasa Arab telah lama memainkan peranan penting dalam
pembentukan karakter bangsa Indonesia yang religius. Berdasarkan realita
tersebut, maka peranan bahasa Arab dalam proses pengembangan sikap religius
peserta didik sangatlah besar. Mengingat
peran bahasa Arab yang amat sangat penting serta peran strategis yang
dimainkannya saat ini, maka dipandang perlu adanya sebuah tulisan yang konsentrasi terhadap permasalahan
tersebut. Penempatan bahasa Arab yang hanya oleh sebagian orang dipandang
sebagai bahasa agama dianggap tidak lagi relevan karena penggunaan bahasa Arab sudah seharusnya digunakan di setiap sendi-sendi kehidupan. Banyak filosofi yang kita ambil
dari bahasa Arab. Seperti penggunaan angka Arab, akan sangat terasa repot bagi
kita apabila kita tidak menggunakan angka romawi dalam berhitung. Coba saja
bayangkan apabila kita mengkalikan angka ratusan menggunakan angka romawi.
Angka Arab memberikan solusi dalam hal ini untuk kemudahan berhitung matematis.[4]
Sederetan pernyataan reflektif di
atas menarik untuk dikemukakan, karena selama ini bahasa Arab tampaknya baru
sekedar sebagai alat (wasîlah) –untuk memahami teks-teks keislaman yang
berbahasa Arab- dan belum difungsikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu dikembangkan. Berangkat dari renungan inilah, maka melalui tulisan nan sederhana ini penulis
mencoba memberikan pemikiran ulang dan/atau sebuah refleksi (rethinking
and reflecting) mengenai potret sistem pengajaran bahasa Arab di Indonesia berikut prospeknya ke depan.
Pembahasan
Hingga kini belum ditemukan adanya hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi
bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama
ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa
Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita.[5] Jika
Islam secara meluas telah dianut oleh bangsa kita sejak abad ke-13, maka usia
bahasa Arab di Indonesia dipastikan
sudah lebih dari 7 abad, karena perjumpaan umat Islam
Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam.
Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua” dibandingkan dengan
bahasa asing lainnya.
Keadaan
masyarakat Indonesia saat ini hanya sebagian kecil yang menguasai bahasa Arab.
Ironisnya beberapa kalangan dengan bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa
bangsa sendiri dimana yang sudah diaklamasikan pada sumpah pemuda[6] dimana bahasa Indonesia
adalah bahasa persatuan tidak menguasai dengan baik. Serta melihat beberapa
kawa kita yang dari pondok pesantren/ma’had non modern banyak yang belum
menguasai bahsa arab sepenuhnya baik secara lisan atau tulisan.
Hal
lainnya adalah naluri kita dalam belajara bahasa. Tidak hanya bahasa arab namun
bahasa yang lain. Ahmad Fuad
Effendi dalam bukunya yang berjudul Metodologi
Pengajaran Bahasa Arab, menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kesiapan fitrah (alamiah) untuk belajar bahasa.[7] Karena pada dasarnya tarbiyah (pendidikan) untuk
meningkatkan fitrah manusia.[8]
Selama ini sistem pengajaran bahasa Arab di Indonesia
dilakukan dengan berbagai metode dan cara yang disesuaikan dengan kesiapan dan
kebutuhan masing-masing. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mahir berbahasa Arab,
baik membaca, berbicara dan menulis. Rata-rata santri[9] menghabisan
waktu sekitar 6-10 tahun. Namun dalam perkembangannya selalu ada problematika
yang menghiasi.[10]
Beberapa diantara dari berbagai problematika tersebut antara lain ialah:
1. Faktor Linguistik
Faktor Linguistik
ialah faktor dari bahasa itu sendiri.
Bahasa Arab mempunyai karakteristik tersendiri. Antara
bahasa Arab dan
bahasa Indonesia terdapat perbedaan dalam beberapa aspek kebahasaan
(linguistik) yaitu aspek fonetik.[11]
Problematika
yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia dari aspek fonetik
adalah bahwa antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia berbeda jumlah fonem,
lambang fonem, dan sistem tata bunyi. Sebagai perbandingan, bahwa jumlah fonem bahasa Arab dengan
bahasa Indonesia adalah 29:26. Lambang fonem tidak ada yang sama, dan cara
penulisannya juga sangat berbeda. Bahasa Arab ditulis dari kanan ke kiri,
sedangkan bahasa Indonesia ditulis dari kiri ke kanan. Terdapat 11 sistem tata
bunyi bahasa Arab yang tidak ada dalam bahasa Indonesia yaitu: غ ،ع ،ظ ،ط ،ض ،ص ،ش ،ذ ،خ ،ح ،ث
dan ditemukan adanya dalam bahasa Indonesia fonem-fonem gabungan konsonan seperti;
”ny” dan “ng” yang tidak terdapat dalam bahasa Arab.
2. Faktor
Non-Linguistik
Faktor
non-linguistik adalah faktor di luar
kebahasaan yang ikut mempengaruhi perkembangan setiap bahasa, yaitu; faktor
lingkungan sosial. Di
berbagai negara Arab mayoritas penduduknya
berbicara dengan bahasa Arab, karena memang itulah bahasa mereka. Sangat
berbeda dengan Indonesia, pada umumnya masyarakatnya tidak berbicara dengan
bahasa Arab, karena bukan bahasa harian mereka. Hanya sedikit lingkungan yang
mengkondisikan dirinya dengan pemakaian bahasa Arab, seperti pesantren,
madrasah, atau lembaga-lembaga lain yang mencoba menerapkan bahasa Arab untuk
berkomunikasi.
Oleh sebab itu kebiasan mendengar dan berbicara dengan
bahasa Arab sangat jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia, sementara
mendengar dan berbicara merupakan langkah awal dalam mempelajari setiap bahasa,
apalagi bahasa asing. Berhasil tidaknya suatu pengajaran bahasa –termasuk
bahasa Arab- sedikit banyaknya tergantung kepada sejauh mana pembinaan yang
diberikan oleh lingkungan masyarakat, keluarga, teman belajar, guru, dan lain
sebagainya.
Masalah
lainnya adalah belajar bahasa arab pada pesantren membutuhkan waktu yang lama,
tidak cukup satu atau dua tahun kita sudah mahir dalam berbahasa arab, mungkin
dengan kesungguhan sekitar lima sampai tujuh tahun kita dapat menguasai bahasa
arab dengan baik dan benar. Juga saat
belajar pada tingkat pesantren banyak dugaan bahwa yang “sah” disebut dengan
bahasa arab adalah adalah bahasa arab standart yang sering disebut sebagai
“bahasa arab fusha”
, atau “literatury
arabic”. Bahasa arab “pasaran” yang sering digunakan dalam komunikasi
sehari-hari oleh masyarakat arab saat ini tidak pernah kami anggap sebagai
bahasa arab sungguhan.
Bahasa arab pasaran kami anggap
sebagai penyimpangan karena tidak memakai kaidah yang benar. Misalnya, bahsa arab pasaran sama sekali,
atau minimal sekali memakai i’rab. Bahasa arab pasaran disebu sebagai “i’rab
less arabic. Karena i’rab dianggap sebagai inti dari bahsa arab maka
pelanggaran atau penghapusan i’rab dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Oleh
karena itu banyak pesantren menganggap bahasa arab pasaran bukan bahasa yang
serius.
Sekarang bahasa arab fusha hanya
digunakan hanya pada 4 hal, yaitu: pers, bahasa internasional, bahasa pendidikan,
bahasa Al-Quran. Ini mejadikan orang Indonesia yang mayoritas menggunakan fusha
kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang asli arab. Terlebih kebanyakan
pesantren salaf menggunakan terjemahan “utawi iki iku” (jawa). Jadi mereka
untuk memahami dalam bahasa Indonesia susah.
Dari
beberapa gambaran problematika bahasa Arab di atas, maka penulis mencoba untuk
menawarkan dua buah solusi dan/atau kiat yang harapannya dapat mengubur
dalam-dalam problematika tersebut. Kedua solusi itu ialah. Pertama, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan
pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar
ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan
maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja karya
akademik dapat dihasilkan dan pada saatnya
komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih pasti dan dapat menyongsong masa
depan yang lebih baik lagi.
Adapun yang kedua ialah pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Selama ini, kita masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan
produk media dan teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga
kita masih belum mendapat sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat,
tepat, dan efektif. Seperti yang sudah diterbitkan buku “Amsilati Jepara” oleh KH. Taufiqul Hakim, dimana dalam buku
ini mempermudah kita mempelajari bahasa Arab (nahwu dan sharf) tidak perlu
sampai tua di pondok pesantren.[12]
kembali lagi ke topik, oleh karena itu, pemeran (tenaga) yang menekuni bidang ini
perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab Indonesia. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi
dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan
dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau
performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value)
dan daya tarik tersendiri.[13] Sehingga pada akhirnya, seluruh
masyarakat Indonesia diharapkan mulai dapat membuka tangan dengan hangat untuk
menyambut dan/atau menerima bahkan mendukung keberadaan bahasa Arab di bumi
pertiwi yang kita cintai ini.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
banyak persoalan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi,
disikapi, dan dicarikan solusinya baik dalam faktor linguistik
maupun faktor non-linguistik.
Saat ini sudah seharusnya kita
semua harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal untuk kemajuan
pendidikan bahasa Arab di Indonesia.
Akhirnya, penulis berharap semoga
seluruh pihak serta khususnya pemerintah agar lebih banyak lagi belajar dari
pengalaman negara yang sudah lebih maju dalam menerbitkan kebijakan yang
berkaitan dengan pendidikan bahasa Arab. Jika pada tahun ini kita akan memberangkatkan 90.108 jamaah haji
ke Arab Saudi[14] dan sekian banyak TKI ke
negara-negara Timur Tengah, mengapa kita tidak banyak berusaha menarik minat
wisatawan dan investor dari kawasan Timur Tengah? Jadi, pendidikan bahasa Arab akan semakin memberi
prospek yang cerah dan mencerahkan jika kebijakan pemerintah dalam bidang ini
lebih visioner.
[1]
Paper
ini merupakan materi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan Islam Fakultas
Agama Islam Universitas Mumahhadiyah Yogyakarta 2013.
[2]
Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[3] Abd. Rouf
Shadry, Nilai Pengajaran Bahasa Arab dan
Sejarah Perkembangannya, (Bandung: Bina Cipta, 1980), hlm. 6.
[6]
Sumpah para pemuda Indonesia pada
kongres pemuda II tanggal 28 Oktober
1928, point ke-tiga id.wikipedia/wiki/sumpah-pemuda
[9]
Santri adalah sebutan bagi murid
yang mengikuti pendidikan di ponsok pesantren. Id.m.wikipedia.org/wiki/santri
[10] pada Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Mei 2007), hlm. 73-74.
[11] Fonetik
adalah sistem bunyi suatu bahasa. Lihat; Harimurti
Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta:
Gramedia, 2001), hlm. 56.
[12] www.amsilati.com
[13] Mahmûd
Fahmî Hijâzî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts: Qadhâyâ
wa Musykilât, (Kairo: Dâr Qubâ’, 1998), hlm. 79.
[14] www.tempo.co.id/read/news/2013/09/17/136514025/jumlah-jemaah-haji-yang-diangkut-garuda-turun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar